Sabtu, 28 Desember 2013

Masa-Masa Orde Baru

Posted by Unknown  |  at  04.40

Latar Belakang Lahirnya Orde Baru

Setelah Gerakan 30 September 1965/PKI berhasil ditumpas dan berbagai bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan mengarah pada PKI, akhirnya ditarik kesimpulan PKI dituding sebagai dalang di belakang gerakan itu. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat kepada PKI. Kemarahan rakyat itu diikuti dengan berbagai demonstrasi-demonstrasi yang semakin bertambah gencar menuntut pembubaran PKI beserta organisasi massa (ormasnya) dan tokoh-tokohnya harus diadili.
Sementara itu, untuk mengisi kekosongan pimpinan Angkatan Darat, pada tanggal 14 Oktober 1965, panglima Kostrad / Pangkopkamtib Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat. Bersamaan dengan itu juga dilakukan tindakan-tindakan pembersihan terhadap unsur-unsur PKI dan ormasnya.

Masyarakat luas yang terdiri dari berbagai unsur seperti kalangan partai politik, organisasi massa, perorangan, pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara serentak membentuk satu kesatuan aksi dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para pendukung Gerakan 30 September 1965 / PKI yang diduga didalangi oleh PKI. Mereka menuntut dilaksanakannya penyelesaian politis terhadap mereka yang terlibat dalam gerakan itu. Kesatuan aksi yang muncul untuk menentang G30S/PKI di antaranya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila kemudian lebih dikenal dengan sebutan Angkatan 66.

Mereka yang tergabung dalam Front Pancasila mengadakan demontrasi di jalan-jalan raya. Pada tanggal 8 Januari 1966 mereka menuju Gedung Sekretariat Negara dengan mengajukan pernyataan bahwa kebijakan ekonomi pemerintah tidak dapat dibenarkan. Kemudian pada tanggal 12 Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila berkumpul dihalaman Gedung DPR-GR untuk mengajukan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang isinya sebagai berikut:

    Pembubaran PKI beserta organisasi massanya.
    Pembersihan Kabinet Dwikora.
    Penurunan harga-harga barang.

Pada tanggal 15 Januari 1966 diadakan sidang paripurna Kabinet Dwikora di Istana Bogor. Dalam sidang itu hadir para wakil mahasiswa. Presiden Soekarno menuduh bahwa aksi-aksi mahasiswa itu didalangi oleh CIA (Central Intelligence Agency) Amerika Serikat. Kemudian pada tanggal 21 Februari 1966, presiden Soekarno mengumumkan perubahan kabinet. Ternyata perubahan itu tidak memuaskan hati rakyat, karena banyak tokoh yang diduga terlibat dalam G30S / PKI masih bercokol di dalam kabinet baru yang terkenal dengan sebutan Kabinet Seratus Menteri.

Pada saat pelantikan kabinet tanggal 24 Februari 1966, para mahasiswa, pelajar, dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka. Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa. Hal ini menyebabkan terjadinya bentrokan antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang menyebabkan gugurnya seorang mahasiswa bernama Arif Rahman Hakim.

Atas kematian Arif Rahman Hakim itu membuat suasana makin lama makin memburuk. Sayang pemerintah tidak mengambil tindakan yang tegas terhadap kejadian itu. Akhirnya demonstrasi semakin menjadi-jadi dan pengganyangan terhadap PKI berlangsung di mana-mana. Akhirnya pemerintah Soekarno kewalahan. Sedangkan kepercayaan kepada Mayor Jenderal Soeharto masih dirong-rong oleh presiden Soekarno. Beliau masih berusaha untuk mengelak memperjelas keterlibatan PKI. Aksi-aksi mahasiswa dan siswa ini tidak saja terjadi di ibu kota Jakarta tetapi menjalar ke seluruh kota besar dan kecil di seluruh tanah air yang mendapat dukungan dari masyarakat dan ABRI. Aksi mahasiswa dan pelajar ini semakin jelas tujuannya. Mereka menginginkan agar pemerintah segera memperbaiki keadaan, terutama keadaan ekonomi dan keamanan.

Latar Belakang Lahirnya Tritura

    Di Bidang Politik

Seperti telah diketahui, PKI sejak dulu ingin mendirikan negara Komunis di Indonesia. Keinginan ini mendapat tantangan dari rakyat Indonesia, terutama para perwira ABRI. Mereka ingin satu saja ideologi di Indonesia. Ideologi itu ialah Pancasila dasar negara kita. Bila PKI berkuasa, maka ideologi Pancasila pasti akan dihapuskannya. Apalagi ajaran komunis itu sangat tidak sesuai dengan kepribadian kita. Indonesia adalah negara Pancasila.

    Di Bidang Ekonomi

Menjelang lahir Tritura, keadaan ekonomi Indonesia sangat parah. Di mana-mana terjadi kelaparan. Tidak ada lapisan mayarakat yang hidup berkecukupan. Mereka yang terlihat agak baik kehidupannya adalah orang-orang yang mendapat fasilitas dari PKI atau orang-orang yang bersekongkol dengan partai itu. Kebutuhan sepuluh bahan pokok, yaitu kebutuhan sehari-hari dikuasai oleh pemerintah. Akhirnya kebutuhan itu berada di tangan orang-orang PKI yang ikut berkuasa dalam pemerintahan Presiden Ir. Soekarno. Dari sepuluh bahan pokok itu yang  paling utama ialah sandang dan pangan. Oleh karena kebutuhan sepuluh bahan pokok itu dikuasai oleh pemerintah, maka kepada rakyat diberikan jatah beras, sandang atau pangan. Dalih pemerintah Ir. Soekarno pada waktu itu ialah agar kita berhemat, sebab revolusi belum selesai.

    Di Bidang Pemerintahan

Dalam lembaga pemerintahan sebagian masih terdapat orang yang berpaham komunis. PKI belum dibubarkan. Jenderal Soeharto sangat hati-hati akan situasi ini. Ia masih harus memerlukan waktu untuk menentukan mana kawan dan mana lawan. Bila tidak diambil tindakan yang bijaksana, akibatnya akan bertambah buruk, apalagi keadaan bertambah buruk lagi, ketika Ir. Soekarno menolak untuk mengeluarkan orang-orang Komunis atau PKI yang duduk di lembaga pemerintahan.

DPRGR masih menampung orang-orang PKI. Keadaan seperti ini menambah sulitnya keadaan. Apalagi orang-orang yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi para menteri masih dipenuhi oleh oknum-oknum PKI dan organisasi yang seazas. Keadaan seperti ini harus dibersihkan. Demikianlah aksi mahasiswa dan masyarakat. Seluruh rakyat menuntut agar kabinet harus dibersihkan dari tangan-tangan orang PKI yang telah nyata terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 atau G.30 S/PKI. PKI dan antek-anteknya mempunyai dasar dan pandangan hidup bangsa PANCASILA.

KAMI Dibubarkan

Setelah mempelajari situasi negara yang sangat penting itu Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima Kostrad, Komando Keamanan dan Pemulihan Keamanan mulai mencari langkah yang bijaksana untuk mengatasinya. Sementara itu aksi mahasiswa meningkat terus yang ditunjukkan langsung kepada Pendukung Soekarnoisme (BPS). Hal ini tentu sangat berbahaya, sebab sudah ada dua golongan yang akan saling bermusuhan. Tetapi berkat kebijaksanaan Mayor Jenderal Soeharto keadaan dapat diatasi. BPS hilang dengan sendirinya dan KAMI seolah-olah mendapat angin. Semua komponen dalam kesatuan aksi itu bekerjasama dengan ABRI selaku pelindung dan pembela rakyat. Pada tanggal 26 Februari 1966, KAMI dibubarkan oleh Presiden Soekarno, tetapi aksi Tritura tetap dilanjutkan. Rakyat tetap berdiri disamping pemimpinnya. Walaupun Mayor Jenderal Soeharto telah mempunyai konsep untuk menenangkan suasana, akan tetapi belum dapat berbuat banyak Karena atasannya masih ada yaitu Presiden Soekarno. Oleh sebab itu perlu dicari waktu yang tepat.

Dari KAMI yang dibubarkan, perjuangan berpindah secara estafet kepada KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Demonstrasi bertambah hebat. Suasana semakin memuncak. Jakarta berada dalam keadaan demam revolusi. Penyerangan Cakrabirawa ke U. I. di gagalkan oleh Jenderal Soeharto dengan menempatkan pasukan Kostrad di sana. Puncak kejadian ialah tanggal 11 Maret 1966, sewaktu Soekarno memimpin kabinet di istana negara, tiba-tiba Ajudan Presiden, Kolonel Bambang Wijarno menyampaikan laporan kepada Presiden, bahwa pasukan tentara yang tak dikenal kesatuannya, sedang menuju istana. Soekarno terkejut, lalu menyerahkan pimpinan sidang kepada Dr. Leimena, kemudian lari terbirit-birit menuju helikopter yang berada di halaman istana. Wakil-wakil Perdana Menteri Dr. Soebandrio dan Chairul Saleh mengikut di belakang. Mereka bertiga terbang ke Bogor.

Jenderal Soeharto mengirim delegasi ke Bogor untuk bermusyawarah dengan Presiden. Delegasi itu terdiri dari tiga Jenderal, yaitu AMIRMACHMUD, BASUKI RACHMAT dan M. JUSUF. Musyawarah menghasilkan Surat Perintah 11 Maret yang berisi tentang pemindahan kekuasaan eksekutif dari presiden Soekarno kepada Jenderal SOEHARTO. Berdasarka Surat Perintah 11 Maret ini, Jenderal Soeharto mengeluarkan keputusan membubarkan PKI atas nama Presiden, Keputusan ini sangat mengejutkan Soekarno.[2]

Dalam pada itu Jenderal Soeharto berusaha dengan gigih meyakinkan Soekarno bahwa sebagian pembantu-pembantunya dalam kabinet yang menjadi tuntutan massa demonstran-demonstran, antaranya Dr. Soebandrio, tidak mungkin dipertahankan lagi. Presiden Soekarno sudah dapat memahami dan menerima keadaan itu. Tetapi pada tanggal 16 Maret 1966, tiba-tiba Presiden Soekarno mengeluarkan pengumuman, yang isinya pada hakekatnya mencabut isi dari Surat Perintah 11 Maret 1966. Pengumuman Presiden Soekarno ini sangat mengejutkan Jenderal Soharto dan para Panglima militer, serta membangkitkan kemarahan massa kembali

Jenderal Soeharto bertindak mendahului massa, sehingga keadaan tetap dikuasai. Pada tanggal 18 Maret 1966 dikeluarkan Surat Keputusan atas nama Presiden  oleh Jenderal Soeharto, menangkap dan menahan lima belas Menteri, serta menunjuk penggantinya sekali. Tindakan Jenderal Soeharto yang mendahului massa ini, sangat mencengangkan. Jenderal Soeharto yang tadinya diduga dan dituduh lamban, ternyata seorang yang bertindak tepat pada waktunya, dengan perhitungan yang masak. Kekuatan Presiden Soekarno sudah habis. Menurut hukum revolusi, riwayatnya sudah tamat, dan Presiden Soekarno sudah tidak ada lagi. Kekuasaan sudah berada dalam tangan Jenderal Soeharto.[3]

Sementara itu Jenderal Soeharto telah berusaha menyempurnakan MPRS, DPRGR, DPA dan Lembaga Pemerintah Pusat yang lain. Dengan cara begini, ia telah mengambil langkah-langkah untuk memberikan nafas bagi kehidupan demokrasi kembali, setapak demi setapak, sesuai dengan kemungkinan. Pada tanggal 20 Juni 1966, sampai tanggal 6 Juli 1966, diadakan sidang MPRS, yang ke-IV di Jakarta. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara, diminta memberikan laporan kepada sidang, mengenai pemberontakan G 30 S yang gagal. Pemberian laporan pertanggungan jawab oleh Presiden Soekarno itu, sekaligus juga merupakan langkah mematuhi UUD 45.

Perkembangan Kekuasaan  Orde Baru

Dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) Soeharto mengatasi keadaan yang serba tidak menentu dan sulit terkendali itu. Dengan berkuasanya Soeharto sebagai pemegang tampuk pemerintahan di negara Republik Indonesia sebagai pengganti Presiden Soekarno, maka dimulailah babak baru yaitu sejarah Orde Baru.[4]

Pada hakikatnya, Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, atau sebagai koreksi terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi di masa lampau. Di samping itu juga berupaya menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan  bangsa.

Permulaan tahun 1967 suasana bertambah panas lagi. Mahasiswa-mahasiswa turun ke jalan kembali, dengan sasaran yang terang, yaitu Soekarno. Pada tanggal 23 Januari 1967, Jenderal Soeharto mengeluarkan pengumuman yang bernada keras, terhadap kontra-kontra Orde Baru. Dalam pengumuman itu, ditegaskan bahwa kesabaran yang diperlihatkan Angkatan Bersenjata dalam menghadapi bencana Gestapu/PKI akan sampai pada batasnya: “Di saat itu kita akan menarik garis yang jelas antara kita dan mereka yang berdiri di luar garis yang telah ditentukan oleh MPRS. Barulah di waktu itu, kita akan mengambil langkah-langkah yang tegas dan tindakan yang keras terhadap siapapun”.

Setelah peristiwa G30S / PKI, negara Republik Indonesia dilanda instabilitas politik akibat tidak tegasnya kepemimpinan Presiden Soekarno dalam mengambil keputusan atas peristiwa itu. Sementara itu, partai-partai politik terpecah belah dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan, antara penentang dan pendukung kebijakan Presiden Soekarno. Selanjutnya, terjadilah situasi konflik yang membahayakan persatuan dan keutuhan bangsa.

Melihat situasi konflik antara masyarakat pendukung Orde Lama dengan Orde Baru semakin bertambah gawat, DPR-GR berpendapat bahwa situasi konflik harus segera diselesaikan secara konstitusional. Pada tanggal 3 Februari 1967 DPR-GR menyampaikan resolusi dan memorandum yang berisi anjuran kepada ketua Presidium Kabinet Ampera agar diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS.

Pada tanggal 20 Februari 1967, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto. Penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Soeharto dikukuhkan di dalam sidang Istimewa MPRS. MPRS dalam ketetapannya No. XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Dengan adanya ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang merupakan sumber instabilitas politik telah berakhir secara konstitusional.

Sekalipun situasi konflik berhasil diatasi, namun kristalisasi Orde Baru belum selesai. Untuk mencapai stabilitas nasional diperlukan proses yang baik dan wajar, agar dapat dicapai stabilitas yang dinamis, yang mendorong dan mempercepat pembangunan. Proses ini dimulai dari penataan kembali kehidupan politik yang berlandaskan kepada Pancasila dan UUD 1945.

Usaha penataan kembali kehidupan politik dimulai pada awal tahun 1968 dengan penyegaran DPR-GR. Penyegaran ini bertujuan untuk menumbuhkan hak-hak demokrasi dan mencerminkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Komposisi anggota DPR terdiri dari wakil-wakil partai politik dan golongan karya. Tahap selanjutnya adalah penyederhanaan kehidupan kepartaian, keormasan dan kekaryaan dengan cara pengelompokkan partai-partai politik dan golongan karya. Usaha ini dimulai tahun 1970 dengan mengadakan serangkaian konsultasi dengan pimpinan partai-partai politik. Hasilnya lahirlah tiga kelompok di DPR yaitu:

    Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari parta-ipartai PNI, Parkindo, Katolik, IPKI, serta Murba.
    Kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari partai-partai NU, Partai Muslimin Indonesia, PSII, dan Perti.
    Sedangkan kelompok organisasi profesi seperti organisasi pemuda, organisasi tani dan nelayan, organisasi seniman dan lain-lain tergabung dalam kelompok Golongsan Karya.

Selanjutnya pemerintah Orde Baru memurnikan kembali politik luar negeri yang bebas-aktif. Politik konfrontasi dengan Malaysia dihentikan. Normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia berhasil dicapai dengan ditandatanganinya Jakarta Accord pada tanggal 11 Agustus 1966. Kemudian pemerintah memutuskan untuk kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 September 1966, guna mengembalikan kepercayaan dunia internasioanal serta menumbuhkan saling pengertian yang sangat bermanfaat bagi pembangunan. Di samping itu, untuk mempererat dan memperluas hubungan kerja sama regional bangsa-bangsa Asia Tenggara, pada tanggal 8 Agustus 1967 Deklarasi Bangkok berhasil ditandatangani. Dengan ini, lahirlah Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau Association of South East Asian Nation (ASEAN). Perhimpunan ini beranggotakan Indonesia, Muangthai, Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Kebijakan Pemerintahan Orde Baru

Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, langkah selanjutnya yang ditempuh oleh pemerintah adalah melaksanakan Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional yang diupayakan pada zaman Orde Baru direalisasikan melalui Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan Jangka pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (pelita). Setiap pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.[5]

Untuk memberikan arah dalam usaha mewujudkan tujuan nasional tersebut, maka MPR telah menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1973, yang pada dasarnya merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian program-programnya. GBHN dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang berisi program-program konkret yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun. Pelaksanaan Repelita telah dimulai sejak tahun 1969.

Proses Menguatnya Peran Negara Pada Masa Orde Baru[6]

Sejak Orde Baru berkuasa, telah banyak perubahan yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia melalui tahap-tahap pembangunan di segala bidang. Pemerintah Orde Baru berusaha meningkatkan peran nagara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, langkah yang dilakukan pemerintah Orde Baru adalah menciptakan stabilitas ekonomi politik. Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan negara yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Pada Sidang umum IV MPRS telah diambil suatu keputusan untuk menugaskan Jenderal Soeharto selaku pengemban Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar, yang sudah ditingkatkan menjadi ketetapan MPRS No. IX/MPRS 1966 untuk membentuk kabinet baru.

Pembentukan kabinet baru ini dinamai Kabinet Ampera. Kabinet Ampera dibebani tugas untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Tugas itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Dwi Darma Kabinet Ampera. Adapun program yang dibebankan oleh MPRS kepada kabinet Ampera adalah:

v  Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.

v  Melaksanakan Pemilihan Umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 yakni 5 JUli 1968.

v  Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966.

v  Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Keempat program Kabinet Ampera ini disebut Catur Karya Kabinet Ampera. Program ini dijalankan oleh pemerintah Orde Baru. Pada tanggal 21 Maret 1968, Jenderal Soeharto selaku Pejabat Presiden menyampaikan laporan kepada Sidang umum V MPRS mengenai pelaksanaan Dwi Darma dan Catur Karya Kabinet Ampera. Pertama kali dilaporkan bahwa telah dilaksanakan usaha mendudukkan kembali posisi, fungsi dan hubungan antar lembaga negara tertinggi sesuai dengan yang diatur dalam UUD 1945. Menurut UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memegang kekuasaan tertinggi dalam negara Republik Indonesia. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berada dibawah MPR.

Pada masa Orde Baru tatanan kehidupan kenegaraan dikembalikan kepada kemurnian pelaksanaan UUD 1945, hal itu terlihat pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dimana Presiden Soeharto berbicara langsung di hadapan wakil-wakil rakyat yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pidato kenegaraan Presiden Soeharto selalu diucapakan di depan sidang DPR.

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, peristiwa 30 September 1965 Tragedi Berdarah dalam sejarah bangsa Indonesia membawa masyarakat Indonesia untuk menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara kembali kepada ideologi Pancasila dan UUD 1945. Dan keinginan untuk melaksanakan secara murni dan konsekwen Ideologi negara Pancasila dan UUD 1945. Dalam peristiwa tanggal 30 September 1965 ini telah membawa korban rakyat banyak, dan para pemimpin bangsa diantaranya tujuh orang Perwira Tinggi Angkatan Darat. Tuntutan masyarakat terhadap aksi Gerakan 30 September semakin meningkat. Hal ini menimbulkan tekanan berat bagi Pemerintah Soekarno untuk memberikan perintah kepada Letnan Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah. Dalam menjalankan tugas Letnan Jenderal Soeharto juga harus melaporkan segala sesuatu kepada Presiden Soekarno, mandat itu dikenal dengan nama Supersemar.

Kebijaksanaan politik luar negeri Indonesia pada masa Orde Baru ini adalah: menghentikan konfrontasi dengan Malaysia, memprakarsai terbentuknya ASEAN, keikutsertaan Indonesia dalam Organisasi Internasional. Kebijaksanaan politik dalam negeri Indonesia pada masa Orde Baru diantaranya adalah: melasanakan pemilu, penataan dalam bidang Pemerintahan mulai dari Tingkat Pusat sampai ke bawah, melaksanakan berbagai sektor pembangunan dalam negeri seperti: sektor ekonomi, sosial, dan budaya.

Daftar Pustaka



Usman, Sjarif. 1972. Mengapa Rakyat Indonesia Mendukung Presiden Soeharto. cetakan ke III. Djakarta.

Nogroho, Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia jilid 1-6. Jakarta: Balai Pustaka.

Mulyono, Doto. 1985. Kekuasaan MPR Tidak Mutlak. Jakarta: Erlangga.

Sunny, Ismail. 1986. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Jakarta: Aksara Baru.

Tagged as:
About the Author

Write admin description here..

0 komentar:

Jam

Pengunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

Sejarah Bangsa Indonesia

back to top